Sabtu, 15 Januari 2011

Jam 2 siang...!!!

uu"Sayang, kamu kenapa ? Ko hari ini keliatan murung
gitu sih ?"
"Ah ga kenapa-napa ko."
"Hari ini kamu keliatan laen deh ?"
"Laen gimana ?"
"Kayak gak semangat gitu, kamu lagi ada masalah ? cerita dong ? mungkin aja aku bisa bantu."
"Sayang, aku gak apa-apa ko bener." Sahut Alisya
sembari mengusap pipi kanan-ku lembut.
"Beneran."
Alisya mengangguk sambil menorehkan senyum
manisnya. "Ya udah, eh mau makan dimana."
"Terserah aja deh, tapi aku gak makan ya."
"Lho kenapa."
"Masih kenyang."
"Ih bukannya dari pagi kamu belum makan."
"Ga ah lagi, gak nafsu makan gini." "Masuk angin kali tuh."
"Maybe!"
"Setidaknya isi donk, dikit aja."
"Gak ah."
"Ya sayang, kita makan di situ aja ya." Ucapku sambil
membelokkan Mobil yang aku kemudikan menuju pelataran parkir sebuah restoran jepang.
Aku mengapitnya untuk berjalan sembari mencari
bangku yang strategis di restoran itu. Pelayan
restoran ini dengan ramah menyapa sembari
menyodorkan menu di hadapan aku dan Alisya.
"Say, kamu mau makan apa ?" "Emh, aku minum aja ya."
"Sayang, makan donk, dikit aja, ntar kamu sakit lagi."
"Gak ah, aku lagi gak enak makan ni."
"Ah kamu, ya udah."
Aku memesan beberapa makanan, sedangkan Alisya
tetap dengan keinginannya hanya memesan segelas softdrink.
"Bener deh, kayaknya aku liat kamu lagi ada
masalah."
"Ih kamu tuh ya, bener ko, aku gak apa-apa ?"
"Alisya, aku ni cowok kamu, yang udah kenal kamu
sejak 3 tahun lalu, gak biasanya kamu kayak gini. Yang aku liat, kayaknya saat ini lagi ada yang kamu pikirin."
"Gak tahu ya say. Entah ini pantas, ato enggak aku
pikirin."
"Masalah apa tuh ?"
"Emh, Say, seandainya, Lusa aku meninggal gimana ?"
"Dih ngaco... kok ngomongnya gitu sih." "Ya udah kalo gak mau bahas."
"Kenapa sih ko tiba-tiba kamu bicara tentang
kematian gitu ?"
"Emang sih rasa-rasanya gak rasional gitu, tapi tiba-
tiba saja aku takut akan hal itu."
"Masalahnya kenapa, ko bisa-bisanya kamu malah mikirin itu."
"Tapi kamu jangan ngetawain aku yah."
"Ealah, masa sih aku mesti ngetawain kamu, kamu
suka aneh deh."
"Kemarin malem aku mimpi kalo selasa lusa, aku
bakal meninggal." Aku tersenyum geli mendengar ucapannya itu.
"Tuh kan, katanya gak bakal ketawa."
"Kamu suka aneh deh, kirain kenapa sampai ngerasa
gitu, eh ternyata cuma karena mimpi."
"Emang awalnya sih biasa aja, tapi ko malah
kepikiran gini ya." "Sayang, jangan hiperbolis gitu deh, mimpi kan cuma
bunga tidur, masa gitu aja jadi pikiran."
"Aku juga tahu, tapi gimana kalo ini tuh emang
pertanda."
"Iya, tapi mana kita tahu kematian, itu semua rahasia
Tuhan. Mungkin aja beberapa jam lagi, aku yang bakal meninggal, mana kita tahu kan."
"Tapi kalo itu bener gimana ?"
"Ko kamu segitu seriusnya sih nimpalin mimpi, emang
mimpi kamu tu gimana sih."
"Gak terlalu jelas sih, aku sendiri lupa gimana
lengkapnya, tapi aku inget banget ama satu kejadian, kalo aku ketemu ama lelaki, kulitnya hitam legam,
pake banyak kalung dari tulang-tulang gitu, pokoknya
aneh lah, dia nyapa aku, dan dengan singkat dia bilang hari Selasa ini jam 2 siang aku bakal
meninggal."
"Aneh."
"Emang aneh banget, makanya ampe sekarang aku
terus keingetan ama apa yang dia katain."
"Udah lah say, bisa aja lagi, itu cuma mimpi biasa, gak usah dipikirin terus gitu ah."
"Mudah-mudahan sih gitu. Tapi andaikata Tuhan mau
ngambil aku secepat ini, aku hanya bisa pasrah saja
apapun kehendak-Nya."
"Udah lah, say. Aku yakin gak bakal ada apa-apa ko,
Bener! kamu tenang ya." * * * Malam itu aku terbaring di ranjang kamarku, jam
digital yang kuletakan di atas Komputer aku
menunjukan pukul 21.00.
Hari yang melelahkan, pikirku. Seharian ini aku harus
muter-muter perpustakaan buat nyari bahan skripsi,
belum lagi tadi sore aku mesti nganter pulang Alisya, pacarku.
"Zen... ada telpon dari Alisya." Jerit Kakak
perempuanku dari luar kamar.
Aku segera meraih gagang telp yang berada tak jauh
dari tempat aku berbaring, aku sengaja mematikan
dering telp yang terpasang pararel dengan telp utama rumah ku ini agar tidak menggangguku.
"Iya sayang, ada apa ?"
"Zen, kamu temenin aku donk."
"Kapan ?"
"Ya malem ini lah, aku gak bisa tidur, aku takut."
"Aduh sayang, kamu kenapa sih ?" "Kamu kan tahu, bokap dan nyokap aku lagi pergi ke
luar kota, di sini cuma ada aku, mBok Jah, ma pak
Karman doank."
"Dih, kamu gak biasanya manja kayak gitu deh."
"Ayolah sayang, ya please...!"
"Aduh say gimana ya, besok kan aku mesti bimbingan ma dosen aku."
"Ya kamu bisa kan berangkat dari rumah aku."
"Tapi ini kan malem."
"Biarin, pokoknya aku tunggu. Ada yang mesti aku
ceritain ma kamu."
"Apalagi sih say, bukannya baru tadi sore kita
ketemu."
"Aku gak bisa cerita di telp. Pokoknya aku tunggu kamu sekarang di rumah aku, titik!"
"Iya, aku kesana sekarang."
Aku meletakan kembali gagang telp itu, segera
beranjak dari tempat tidur untuk berganti pakaian,
dan segera meraih kunci mobil yang kuletakan di atas
meja. "Mau kemana Zen ?" sapa ibu-ku ketika aku melintas
ruang keluarga rumahku.
"Alisya." Jawabku singkat
"Mau ngapain malem-malem gini."
"Jagain dia!"
"Lho memang kenapa ?" "Mom, ortunya lagi pada gak ada, kasian donk dia
sendirian di rumahnya, takut kenapa-napa."
"Bukannya malah ada kamu yang jadi kenapa-napa ?"
"Udah deh Mom, percaya ma Zen. Zen gak bakal
ngapa-ngapain ko."
"Ya udah salam ma Alisya ya, jadi kamu nginep disana ?"
Aku mengangguk, "Zen berangkat dulu ya Mom."
Aku pacu mobil ini menembus kegelapan malam kota
ini, Rumah Alisya memang tidak begitu jauh dari
rumahku, hanya perlu waktu 30 menit untuk
menempuh perjalanan ini. Aku pelankan kecepatan mobil ini ketika aku lalui
jalanan komplek perumahan dimana rumah Alisya
berada.
Jalanan begitu sepi, maklum kini malam sudah larut,
wajar saja tak banyak orang yang lalu lalang.
Kini mobil aku sudah berada di depan rumah Alisya, namun aku tak bisa langsung memasukan ke
halaman rumahnya karena terhalang seseorang yang
berdiri di depan gerbang rumah Alisya.
Aku menekan klakson mobil ini berharap orang itu
mengerti kalau mobil aku terhalang olehnya. Namun itu tak
memberikan reaksi apa-apa padanya, setelah
beberapa kali aku coba namun tetap saja dia tak
beranjak dari tempatnya berdiri, aku segera keluar
dari mobil aku ini.
"Mas, maaf ya, bisa tolong minggir sebentar." Ucapku, dia hanya menoleh ke arahku, kulihat dia seorang
pria berkulit hitam dengan pakaian yang serba hitam
pula, aku perhatikan dia memakai aksesoris seperti
gelang dan kalung yang berlebihan di tubuhnya.
Tatapannya tajam memandangku.
"Mas, maaf ya, bisa minggir sedikit." Tanpa berkata, namun matanya masih lekat
memandangku, dia mulai menggerakan tubuhnya,
memberiku jalan untuk memasukan mobilku kedalam
pelataran rumah Alisya.
Tanpa berkata lagi, aku segera masuk kembali ke
mobilku dan mengendalikannya masuk ke halaman rumah ini.
Rumah dua tingkat dengan gaya Eropa yang kental,
dengan ornamen dan pernik yang indah, maklum
Ayah Alisya adalah seorang arsitek, sehingga tak
aneh jika rumahnya ini terlihat begitu Indah.
Aku segera melangkahkan kakiku menuju teras rumah ini, setelah aku parkirkan Mobilku di didepan
pintu garasi.
Aku menekan bel yang berada di samping pintu
rumah ini. tak berapa lama kulihat mBok Jah
(pembantu rumah ini) membukakan pintu.
"Eh, Den Zen, itu non Alisya udah nunggu diatas." Ujarnya ketika melihatku berdiri di teras.
Hanya dengan tersenyum aku membalas sapaannya.
Aku masuk ke dalam rumah itu, dan segera menuju
kamar Alisya yang berada di lantai atas.
Derap langkahku bergema menemaniku menyusuri lorong rumah besar ini, sampai aku berada tepat di
depan pintu kamar Alisya. Tanpa kuketuk terlebih
dahulu, aku segera meraih gagang pintu dan
menekannya untuk membuka pintu itu.
Kulihat Alisya, terbaring terkelungkup di atas ranjang
tidurnya. "Sayang." Ucapku lembut sembari mendekatinya.
Alisya segera menoleh, binar matanya memancarkan
kelegaan seperti baru saja bertemu aku setelah lama
tak jumpa, dengan sigap dia berdiri dan berlari
memelukku.
"Hei, kamu kenapa sayang." "Aku takut Zen... " ucapnya masih dalam pelukku.
"Sudahlah, sekarang kan aku ada ma kamu." Aku
segera mengusap punggungnya, berusaha
menenangkan.
Perlahan dia melepaskan pelukannya dan segera
berjalan menuju ranjang dan duduk di atasnya, aku mengikutinya mengambil posisi duduk bersebelahan
dengannya.
"Orang itu Zen."
"Orang itu siapa ?"
"Orang yang ada dalam mimpiku."
"Trus kenapa." "Tadi dia kesini."
"Maksud kamu ?"
"Iya orang yang persis sama seperti yang ada dalam
mimpiku, tadi sore datang kesini, dia menemuiku.
mBok Jah yang nerima dia duluan, di luar pagar sana."
"Dia ngomong apa ?" "Aku gak sempet ngomong apa-apa ma dia, aku
keburu lari pas liat wajahnya."
"Kenapa kamu lari ?"
"Abisnya aku takut Zen."
"Ya sudah, kamu tenang aja ya."
"Tapi aku gak tau abisnya setelah itu mBok Jah yang nemuin dia lagi."
"Kamu dah nanya ma mBok Jah dia bilang apa ?"
Dia menggeleng
"Kenapa ?"
"Aku takut."
Aku segera teringat dengan orang yang berada di luar pagar rumah Alisya tadi. Dari perawakannya aku memang sudah menduga orang itu yang di
maksud Alisya. Siapa dia ?
"Emh, say, aku keluar dulu ya ?"
"Mau kemana ?"
"Bentar, mau ke warung dulu."
"Jangan lama-lama." Aku mengangguk. Aku memang tak bermaksud ke
warung, namun ingin mencoba mencari orang yang
tadi. Mungkin bisa sedikit menanyai apa maksud dia
menemui Alisya tadi sore.
Aku berjalan keluar kamar ini dan menuju teras
depan, udara dingin begitu menyengat ketika kubuka pintu depan rumah ini, sambil membenahi jaket yang
kukenakan aku melangkah menuju pagar. Aku
membuka pintu pagar, menyembulkan wajah keluar,
mencari sosok yang tadi kutemui. Sial, orang itu sudah
tidak ada. Aku melangkah menuju jalan, sepi... tak
ada satu orangpun kulihat di sekitar sini. Hah, percuma aku mencari malam-malam seperti ini.
Namun aku teringat kalo tadi Alisya bilang kalau
orang itu sempat berbicara dengan mBok Jah,
mungkin aku bisa cari tahu dari mBok Jah.
Aku menyusuri ruangan belakang rumah ini mencari
kamar mBok Jah. Ketika kudapati kamar itu segera kuketuk pintunya. Kulihat mBok Jah membuka pintu
itu.
"Ada apa ya Den ?"
"Mmh... bok, tadi sore mBok ketemu ama laki-laki
yang kulitnya hitam dan berpakaian hitam-hitam ?"
"Iya, memangnya kenapa den ?" "Enggak kenapa-napa, emangnya dia ngomong apa
Bok ?"
"Dia cuma nyari non Alisya, tapi pas non Alisya
ketemu ma orang itu, eh dia malah lari."
"Emang mBok jah gak nanya keperluan dia apa ?"
"Ya nanya Den, katanya sih dia mau jemput non Alisya, tapi ya mBok ga tau mau ngajak kemana."
"Terus dia ngomong apa ?"
"Ya gitu aja den, tapi katanya dia mau kesini lagi
besok siang."
"Oh gitu, ya udah, makasih ya mBok."
"Emangnya ada apa toh den ?" "Enggak ada apa-apa ko mBok, ya udah mBok Jah
istirahat aja, makasih mBok."
"Sama-sama den."
Aku melangkah dari tempat itu, jujur aku makin
bingung dengan semua ini, apa dan siapa sebenarnya
orang itu ? apa memang mimpi Alisya kemarin itu bukan hanya bunga tidur ? atau memang semua ini
hanya kebetulan saja ?
Seakan masih banyak pertanyaan yang menghujam
pikiran ini, namun aku tak ingin memperlihatkan
wajah penuh pertanyaan di hadapan Alisya, yang
penting aku mesti menenangkannya malam ini. Malam itu Alisya tertidur dalam pelukku, sedari tadi
aku membujuknya untuk tidur, namun ia tetap tak
mau, ia masih terlampau takut jika mimpinya kembali
terulang malam ini. namun akhirnya Ia tertidur juga,
mungkin ia tak dapat menahan kantuknya.
Jujur, mau tak mau aku jadi takut jika apa yang Alisya impikan jadi kenyataan. Aku belum siap untuk
meninggalkannya, walaupun ini semua hanya
seonggok mimpi namun tetap telah menguras nalar
dan logika, karena bagaimana pun terkadang di dunia
ini terdapat sesuatu yang tak tersentuh oleh nalar dan
akal sehat. Siang itu aku ter duduk kaku di halaman teras rumah
ini. Di hadapanku Alisya tampak tersenyum,
wajahnya jauh lebih cerah dibanding tadi malam.
"Kamu tampak cantik hari ini Alisya."
"Setidaknya untuk pertemuan terakhir ini aku harus
tampil sempurna di hadapanmu." "Pertemuan terakhir ?"
"Iya, pertemuan terakhir, mungkin saat inilah detik
terakhir dari kebersamaan kita selama ini."
"Kamu jangan bicara gitu ah."
"Setidaknya aku bangga telah bisa menjadi kekasih
kamu, kamu adalah lelaki terbaik sepanjang hidupku. Sebenarnya aku masih ingin bersamamu, namun
sepertinya waktu sudah tidak lagi memihak kepada
kita."
"Alisya, kamu masih terobsesi dengan mimpi kamu
itu ya ? kamu gak bakal meninggal Alisya, percaya
itu." "Siapa yang bilang mau meninggal, aku cuma bilang,
aku bakal pergi."
"Kamu mau pergi kemana?"
"Ke sebuah tempat. Tempat yang indah dan damai."
"Omongan kamu mulai ngaco deh."
"Eh sudah jam 2, aku pergi ya sayang. Yang pasti, walaupun aku jauh dengan kamu, aku pasti akan
terus menyayangi kamu."
"Eh sebenarnya kamu mau kemana ?"
Alisya tersenyum, "Nanti juga kamu tahu. Aku pergi
ya sayang." Dia mengecup pipi kanan-ku dan segera
pergi. "Alisya tunggu, kamu... "
"Zen... Zen... bangun udah siang." Sayup Aku
mendengar suara Alisya.
Aku membuka mataku, kulihat Alisya tersenyum
kepadaku. Terlihat sepertinya dia baru saja selesai
mandi. "Udah siang sayang."
"Kamu... "
"Kenapa ?"
"ah, ga apa-apa. Jam berapa ni?"
"Jam 9 pagi, sana mandi, trus sarapan dibawah."
Ucapnya sambil kembali tersenyum. Alisya telah menghilang dibalik pintu kamar ini, aku
termenung dengan impianku semalam, jam 2 siang ?
kenapa aku bermimpi seperti itu ?
Selesai mandi aku segera menuju ruang makan di
lantai bawah, disana kutemui Alisya dengan
setumpuk roti isi di hadapannya.
"Hai, si Cakep udah mandi. Nih sarapannya udah aku
buatin." Ucap Alisya.
Aku mengambil duduk berhadapan dengannya di
meja makan itu.
"Pules banget tidurnya semalem?" "Abisnya aku capek dari siang kegiatan aku padet
banget."
"Duh kacian, tapi sekarang udah ilang donk
capeknya."
"Yah gitu lah... "
"Zen... " "Apa?"
"Maafkan aku yah."
"Buat apa ?"
"Gak buat apa-apa sih, cuma kalau memang aku
harus pergi siang ini, aku pengen kamu bisa relain
aku." "Alisya, jangan mulai lagi deh. Kamu belum tentu
bakal meninggal hari ini kan ?"
"Zen, kamu pernah bilang, kalau kematian itu rahasia
ilahi, kematian itu bisa datang kapan saja tanpa kita
duga, dan kemungkinan aku meninggal siang ini bisa
aja khan? Yang pasti kalau aku memang harus pergi, aku pengen kamu bisa relain aku. Aku pengen liat
kamu bahagia walaupun kita udah gak lagi bersama.
Aku sayang kamu Zen, namun aku kini hanya bisa
pasrah terhadap takdir aku yang telah Tuhan garis
kan."
"Alisya, kamu gak seharusnya bicara seperti itu." "Tadi aku sudah ngobrol dengan mBok Jah mengenai
lelaki yang datang kemarin sore. Katanya, lelaki itu
ingin menjemput aku. Mungkin saja dia adalah
malaikat pencabut nyawaku."
"Alisya, cukup... aku tak mau kamu terus bicarakan
ini, hanya Tuhan yang boleh tahu kapan seseorang itu harus meninggal. Kamu jangan terlalu menyangkut
pautkan semuanya. Rahasia Tuhan tak bisa kita
rasakan hanya dengan pikiran dan akal kita semata."
Alisya tersenyum, jujur, saat ini aku semakin khawatir dengan hal ini. mulai dari hal-hal
yang aku lihat sampai mimpi ku semalam yang
memang mengarah kepada kematian Alisya, apa ini
memang pertanda jika Alisya harus pergi siang ini ?
Jam di dinding rumah ini menunjukan pukul 13.30 aku
duduk bersebelahan dengan Alisya, mBok Jah dan Pak Karman, supir keluarga Alisya sengaja di minta
Alisya untuk berkumpul di ruang tengah.
Dengan tegang aku memperhatikan keadaan ini,
wajah mBok Jah dan pak Karman juga tak jauh
berbeda dengan ku, namun justru sebaliknya dengan
wajah Alisya, ia terlihat tenang, seakan dia begitu pasrah dengan apapun yang bakal terjadi.
Berkali-kali aku meyakinkan hatiku kalau semua ini
hanya sekedar mimpi, dan tak akan terjadi apa-apa
dengan Alisya, namun sayang, ketegangan hatiku
jauh melebihi keyakinan ku itu.
"Zen sayang... jika memang aku harus pergi, aku ingin kamu menyimpan cincin yang aku kenakan ini. mBok
Jah, pak Karman, maafin Alisya ya, kalo memang
selama ini Alisya punya salah. Tolong kabarin Mama
dan Papa tentang Alisya ini, ucapkan kalau Alisya
sayang sama mereka."
Hanya anggukan yang menimpali perkataan Alisya itu, mungkin semua orang yang ada di situ hanya
sibuk dengan ketegangannya.
Suasana kembali hening, hanya detak Jam yang terus
berjalan mengantarkan kita semua menuju pukul 2
siang. Ingin rasanya aku menahan laju jam itu agar
tak pernah lagi menunjuk pukul 2 namun, aku tahu itu tak mungkin aku lakukan.
"Sayang... "
Aku menoleh memandang wajah Alisya, yang kini
kulihat memucat.
"Mungkin ini saatnya aku untuk pergi..." Kulihat dia
memejamkan matanya, "Aku sayang kamu." dengan
seketika tubuh Alisya melemah, dan dia jatuh tak
sadarkan diri.
"Alisya." Jeritku sambil menangkap badan Alisya.
"Non Alisya... " Kudengar mBok Jah menjerit lirih tertahan diikuti dengan isak tangis.
"Pak, siapkan mobil, kita bawa dia ke Rumah Sakit."
Ucapku kepada Pak Karman.
Dengan sigap dia keluar dan mengambil mobil.
"mBok Jah tunggu rumah, dan tolong hubungin bapak
dan ibu Alisya." Aku segera mengangkat tubuh Alisya yang terkulai
lemah keluar ruangan dan segera memasukannya ke
mobil yang Pak Karman keluarkan dari garasi.
Mobil ini segera melaju meninggalkan pelataran
rumah Alisya. Di luar pagar sekilas aku melihat orang
yang tadi malam itu melihat ke arah aku, namun kini dia memberiku sedikit senyuman. Siapa dia? namun
itu tak kuhiraukan lagi, yang utama, aku ingin lekas
membawa Alisya ini menuju Rumah Sakit.
Di Ruang Gawat Darurat rumah sakit ini aku
menunggu tegang para tim medis mengusahakan
menyelamatkan nyawa Alisya. Setelah sekian lama aku menunggu, salah satu Dokter
keluar dari ruangan.
"Mana keluarga nona Alisya." Ucapnya.
"Iya saya, bagaimana Dok ?"
"Maaf, kami sudah berusaha, namun nyawa nona
Alisya memang sudah tidak dapat kami tolong lagi. Kami turut berduka."
Aku tertunduk lemas.
"Sabar ya Dik." Ucap pak Karman.
Aku masuk menuju ruang dimana jasad Alisya
terbujur kaku, di temani pak Karman aku melangkah
lemah mendekati jasad yang tertutup kain putih itu.
Dengan perlahan aku menyingkap kain penutupnya.
Kudapati wajah Alisya, yang tadi pagi masih ceria,
kini telah memucat.
Aku tak dapat lagi menahan isak tangis yang ku tahan
sedari tadi. "Dik, ini cincin yang non Alisya pengen agar Dik Zen
menyimpannya."
Cincin platinum berhias ukiran huruf membentuk
tulisan Alisya itu aku ambil dari tangan pak Karman.
Aku kembali memandang wajah Alisya, dia masih
tampak cantik. Dengan lembut ku usap pipi gadis itu. Dan segera ku kecup keningnya.
"Aku juga sayang kamu Alisya." Bisikku lembut.
Segera kututup kembali wajahnya dengan kain itu.
Dengan hati yang masih teramat perih aku melangkah
kembali keluar.
Di sudut koridor Ruang UGD ini kulihat orang misterius itu, dengan pakaian hitam dan aksesorisnya yang
aneh memandangku, namun sekejap itu dia mulai
melangkah menjauh.
"Woi tunggu." Ucapku sembari mengejar dan
mendekati orang itu.
Orang itu terdiam dengan posisi membelakangiku. "Sebenarnya kamu siapa ?"
Dia tak menjawab
Kulihat dia mulai membalikan tubuhnya, dengan
wajahnya yang hitam legam dia memandangku.
"Kamu, jam 2, enam puluh tujuh tahun yang akan
datang." Ucapnya dengan suara berat seakan tertahan.
"Maksud kamu ?"
Dia tak menjawab, dia malah kembali membalikan
badan dan melangkah menjauhi aku.
Aku hanya dapat termenung menatap wujudnya
sampai akhirnya tak terlihat terhalang tembok koridor Rumah Sakit ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar